4C : Kerangka baru dalam negosiasi BDSM

Berbicara mengenai proses komunikasi BDSM tidak akan lepas dari perkembangan pemahaman pelaksana BDSM akan kebutuhan persetujuan dan kesepakatan yang jelas serta lugas. Dari permasalahan yang muncul akibat miskomunikasi, banyak sekali aktivis BDSM yang akhirnya membuka diri dalam mengedukasi kesulitan yang mereka hadapi selama menjalani praktik inter-personal ini. Berkat praktisi-praktisi yang berkenan membagi pengalaman mereka dalam forum diskusi lah akhirnya para pelaksana BDSM memiliki kerangka interaksi yang jauh lebih aman, serta menciptakan kosakata spesifik yang membantu efisiensi proses perkenalan serta negosiasi.

Secara umum, kerangka negosiasi BDSM yang dikenal adalah SSC, RACK, dan PRICK. Penggunaan serta pemilihannya sangat subjektif tergantung kebutuhan masing-masing individu. Seiring berkembangnya BDSM sebagai aktivitas alternatif, terciptalah kredo / kerangka baru yang dinamakan 4C, singkatan dari Caring (kepedulian), Communication (komunikasi), Consent (persetujuan), and Caution (kewaspadaan).

Informasi mengenai framework yang saya jadikan sebagai sumber acuan dipublikasi di Electronic Journal of Human Sexuality, Volume 17, July 5, 2014 dan merupakan buah pikiran beberapa akademisi yaitu: D J Williams, PhD dari Center for Positive Sexuality (Los Angeles) dan Idaho State University, Jeremy N. Thomas, PhD dari Idaho State University, Emily E. Prior, MA dari Center for Positive Sexuality (Los Angeles) dan College of the Canyons, serta M. Candace Christensen, PhD dari University of Texas at San Antonio. Sumber tulisan bisa disadur dari publikasi resmi:

https://www.academia.edu/21189218/From_SSC_and_RACK_to_the_4Cs_Introducing_a_New_Framework_for_Negotiating_BDSM_Participation?source=swp_share

I. Deskripsi singkat mengenai konsep 4C

Walaupun terkesan sederhana dan mudah dimengerti, konsep 4C memerlukan penjabaran yang sangat kompleks dan dalam, serta multi-dimensional. Tidak hanya mencakup legalitas persetujuan secara verbal, konsep 4C juga merambah kepada kerangka sosio-psikologis didalam interaksi inter-personal yang kontinuum ini. Peran serta dalam bertanggung jawab tidak lagi terbatas peran individual saja, tetapi juga melibatkan seluruh pihak yang ada dalam aktivitas tersebut. 4C juga memperkenalkan kompleksitas dari batas keselamatan dan kewarasan seseorang yang berubah-ubah sesuai dengan kondisi fisik, mental, emosi, kedekatan, dinamika antar pelaksana, dan aspek fluid lainnya. Alih-alih menyedehanakan poin pertimbangan, 4C membuat setiap negosiasi bersifat unik setiap kalinya bahkan diantara 2 pelaksana yang sama.

Pendekatan 4C menitikberatkan kepada asumsi bahwa setiap orang memiliki kepedulian terhadap sesama manusia. Artinya setiap pelaksana BDSM dianggap (dan diwajibkan) untuk memahami bahwa aktivitas BDSM dilandasi oleh Hak Asasi Manusia, dan kedaulatan setiap pelaksana atas diri mereka sendiri. 4C mengeliminir kemungkinan taktik manipulasi untuk mengambil keuntungan atas kerentanan seseorang, dengan menggabungkan aspek persetujuan (Consent) dengan kepedulian (Caring) yang membuat setiap pelaksana BDSM tidak bisa lepas tangan atas kecelakaan fisik maupun mental yang mungkin terjadi.

Sikap etis yang melandasi rasa percaya dan intimasi antar pelaksana aktivitas BDSM inilah yang terbukti paling berpengaruh dalam membangun pengalaman kualitatif BDSM, dan menjadi dasar kemampuan seorang pelaksana dalam mengembangkan proses eksplorasi intimnya. Tidak hanya terkait seksualitas maupun intimasi, kepercayaan diri yang dibangun lewat praktek BDSM yang etis juga membantu memberikan dorongan untuk mengembangkan kualitas hidup seorang pelaksana BDSM.

Meski disajikan secara terpisah, konsep-konsep dalam BDSM ini semuanya terjalin erat. Menekankan komunikasi harus mengarah pada pemahaman yang lebih baik di antara peserta mengenai identitas unik, kebutuhan, dan motivasi individu, sehingga pengalaman BDSM lebih memuaskan. Singkatnya, komunikasi sebagai entitasnya sendiri memungkinkan para partisipan untuk lebih memahami realitas subjektif dari orang-orang yang beraktivitas dengan mereka.

From “SSC” and “RACK” to the “4Cs”: Introducing a new Framework for Negotiating BDSM Participation, Electronic Journal of Human Sexuality, Volume 17, July 5, 2014.

Pembingkaian kembali akan kesadaran atas “keselamatan/resiko” memang jadi nampak samar, tetapi lantas tidak terlalu bersifat diskursif. Peneliti pada saat itu, dan observasi saya sekarang, menunjukan bahwa aspek evaluasi keselamatan-resiko yang terlalu ketat dan medis dalam aktivitas BDSM bisa membatasi seseorang dalam melakukan aktivitas yang diminati. Penggeseran fokus dari diskurs “aman atau tidak” menjadi “apakah resiko bisa diambil atau tidak” lebih cocok untuk mengakomodir sisi inklusivitas yang ditawarkan BDSM dalam arti bahwa setiap orang dewasa yang sehat secara fisik maupun mental tetap memiliki pertimbangan berbeda-beda terhadap resiko yang bisa, ingin, dan mampu diambil. Pun dengan menitikberatkan perhatian kepada resiko, maka pelaksana akan selalu diingatkan bahwa aktivitas yang akan dilakukan tidak 100% aman. Dengan demikian diharapkan setiap pelaksana selalu waspada selama aktivitas berlangsung.

Preferensi kami terhadap kata “kehati-hatian” adalah pengakuan atas politik lama mengenai tubuh dan seksualitas (Foucault, 1977, 1978), dan memungkinkan adanya keberagaman makna dan motivasi untuk terlibat dalam berbagai aktivitas BDSM. Pada saat yang sama, orang-orang yang menganut perspektif epistemologis positivis tentu dapat menafsirkan “kehati-hatian” dari wacana medis dan ilmiah. Intinya di sini bukan sekadar mengubah kata-kata, namun menciptakan ruang yang lebih diskursif untuk memungkinkan perspektif epistemologis yang berbeda.

From “SSC” and “RACK” to the “4Cs”: Introducing a new Framework for Negotiating BDSM Participation, Electronic Journal of Human Sexuality, Volume 17, July 5, 2014.

II. Aspek Consent atau Persetujuan

Consent atau Persetujuan adalah aspek yang selalu ada dalam setiap kredo atau kerangka negosiasi BDSM. Persetujuan atau kesepakatan merupakan dasar aktivitas BDSM yang berarti bahwa tidak boleh ada paksaan dalam bentuk apapun. Persetujuan juga merujuk kepada kewajiban setiap pelaksana BDSM untuk memandang pelaksana lainnya sebagai manusia mandiri yang berdaulat atas dirinya sendiri, terlepas dari peran yang akan diambil ketika aktivitas BDSM berlangsung.

Persetujuan juga mengingatkan semua pelaksana BDSM bahwa setiap pelaksana BERHAK MENGHENTIKAN AKTIVITAS BDSM kapanpun, tanpa konsekuensi selain penghentian persetujuan terkait aktivitas tersebut. Disisi lain, persetujuan juga mengingatkan semua pelaksana atas tanggung jawab masing-masing atas keputusan yang telah diambil, atau telah dilakukan, dimana akan selalu ada konsekuensi dari persetujuan yang diberikan yang lantas perlu dipertanggung-jawabkan oleh si pengambil keputusan. Secara legal dikenal sebagai “Violenti non fit injuria”.

Gagasan persetujuan hampir selalu menjadi pertimbangan inti dalam diskusi populer (misalnya, Miller & Devon, 1995; Taorimino, 2012; Wiseman, 1996) dan diskusi akademis tentang BDSM (misalnya, Baldwin 2003; Langdridge & Barker, 2007; Apakah dimanfaatkan sebagai bentuk penjagaan dalam
BDSM, atau pembiaran pemukulan di bagian kepala (atau bagian tubuh lainnya yang diinginkan) oleh praktisi pemula, persetujuan sering kali dianggap sebagai elemen kunci yang membedakan BDSM dari kekerasan dan jenis pelecehan lainnya (Newmahr, 2011; Ortmann & Sprott, 2013 ).

From “SSC” and “RACK” to the “4Cs”: Introducing a new Framework for Negotiating BDSM Participation, Electronic Journal of Human Sexuality, Volume 17, July 5, 2014.

Dalam praktiknya, terlihat jelas bahwa masih banyak pelaksana BDSM yang bingung mengenai struktur persetujuan dan identifikasi apakah persetujuan mereka dilanggar. Apa yang menjadi batas persetujuan? Kapan saya bisa angkat bicara? Bagaimana saya menginformasikan ketidaksetujuan saya tanpa keluar dari peran BDSM yang saya sedang jalani?

Jurnal ini memperkenalkan lapisan dari persetujuan yang bisa dijadikan acuan dalam membangun pemahaman dan komunikasi yang jauh lebih baik ketika melakukan negosiasi dan menjalani aktivitas BDSM.

a. Persetujuan Awal / Permukaan : Merujuk kepada persetujuan lugas yang diartikulasi sebelum aktivitas BDSM dimulai, dimana “tidak” berarti TIDAK dan “Iya” berarti IYA. Persetujuan ini dilakukan antara dua calon pelaksana BDSM yang dewasa dan setara, dengan kedaulatan serta hak penuh atas diri mereka sendiri. Karena merupakan dasar negosiasi aktivitas BDSM, maka persetujuan pada level ini haruslah lugas, jelas, dan konkrit.

b. Persetujuan Scene / Adegan : Merujuk kepada mekanisme persetujuan selama adegan aktivitas BDSM berlangsung, dimana akan ada pihak yang sengaja mengambil posisi rentan yang memungkinkan terjadinya stimulasi sesuai spesifikasi aktivitas BDSM yang dipilih sebelumnya. Persetujuan dalam tahap ini biasanya berupa isyarat yang tidak lagi sama secara linguistik, yang berarti ekspresi “lanjutkan”, “hentikan”, “pelankan” akan menggunakan diksi berbeda sehingga pelaksana dengan peran dibawah dapat mengkomunikasikan kepada pihak diatas bahwa persetujuan telah ditarik di tengah-tengah adegan, misalkan mempergunakan kata aman (Safewords), maupun isyarat fisik. Yang menarik adalah fakta bahwa walaupun persetujuan tetap diekspresikan secara lugas dan tegas, BDSM secara alami beroperasi dalam kondisi yang menantang konstruksi sosial atas konsep rasa aman.

c. Persetujuan Mendalam / Deep : Merujuk kepada persetujuan yang tidak diekspresikan secara eksplisit, terutama dalam kondisi dimana aktivitas BDSM memicu ekspresi emosi yang kuat, yang membuat seorang pelaksana memiliki kemampuan komunikasi yang lebih rendah. Secara sederhana, persetujuan ini berarti seorang pelaksana BDSM setuju untuk memberikan kuasa kepada pelaksana lainnya untuk mengambil keputusan yang memprioritaskan keselamatan pelaksana tersebut, ketika dia tidak mampu mengambil keputusan sendiri. Contohnya ketika seorang sub mengalami Sub-Space yang termanifestasi dalam bentuk tangisan, kebahagiaan, maupun hasrat berlebih yang mengurangi kewaspadaan atas batasan yang sudah disetujui. Bisa jadi sub yang sebenarnya tidak setuju, menjadi pasrah dan menanggalkan akal sehatnya. Dalam hal ini, Dom WAJIB MENGONTROL BATASAN YANG SUDAH DISEPAKATI dan tidak mengambil keuntungan atas kondisi rentan sub. Jika reaksi sub dirasa mengkhawatirkan dan melanggar batasan yang sudah disepakati sebelumnya, maka aktivitas harus dihentikan, sub harus disadarkan kembali lewat aftercare, baru setelahnya didiskusikan apa yang terjadi dan apa yang sebenarnya sub inginkan.

Satu hal yang perlu disadari, walaupun konsep persetujuan telah dipelajari dari berbagai disiplin ilmu, dan sudah dilengkapi dengan mekanisme yang mendetail, praktek persetujuan tetaplah rumit. Hal ini dikarenakan banyaknya variabel maupun nuansa yang mendasari persetujuan dan bagaimana hal tersebut diekspresikan.

III. Aspek Communication atau Komunikasi

Banyak akademisi yang menemukan bahwa komunikasi yang baik adalah salah satu faktor terpenting untuk memiliki hubungan BDSM yang positif (Cutler, 2003; Williams, 2012). Cutler (2003) mewawancarai 33 individu yang secara aktif berpartisipasi dalam praktik rekreasi BDSM, dan ditemukan bahwa 19 dari 33 individu mengidentifikasikan komunikasi sebagai keterampilan terpenting nomor satu untuk memiliki hubungan BDSM yang “baik”. Cutler mengatakan bahwa para peserta menegaskan bahwa kebutuhan akan komunikasi yang baik lebih penting dalam praktik BDSM (dibandingkan dengan praktik “vanilla”) untuk mencegah luka fisik atau emosional yang tidak diinginkan. Orang-orang ini menghargai kejelasan dan transparansi dalam semua aktivitas BDSM. Prinsip penting dari praktik BDSM adalah bersama menciptakan pertukaran kekuasaan. Penting bagi semua praktisi yang terlibat untuk berkomunikasi tentang struktur dan proses yang terjadi dalam pertukaran ini sehingga pengalaman BDSM menyenangkan dan aman untuk satu sama lainnya (Kleinplatz & Moser, 2006).

From “SSC” and “RACK” to the “4Cs”: Introducing a new Framework for Negotiating BDSM Participation, Electronic Journal of Human Sexuality, Volume 17, July 5, 2014.

Karena keseluruhan aktivitas BDSM adalah bentuk komunikasi kompleks yang menggabungkan aspek verbal dan non-verbal antara dua atau lebih pelaksana, maka tentu saya komunikasi haruslah menjadi bagian utama dari prosesnya dari awal sampai akhir. Yang penting untuk diingat adalah bahwa BDSM adalah aktivitas yang memberikan rasa senang kepada semua pihak. Artinya setiap pelaksana BDSM, tak peduli posisi atau peran yang diambil, harus mampu, mau, dan bisa melakukan komunikasi mengenai ekspektasi yang ingin dicapai, maupun keputusan yang diambil selama aktivitas BDSM berlangsung.

Salah kaprah yang cukup umum adalah BDSM, dengan unsur pengekangan fisik, tidak memberikan ruang komunikasi terutama ketika terkait penggunaan peredaman panca indera (menutup mulut, telinga, mata) maupun ruang mental tanpa-perlawanan. Sayangnya hal ini malah membuktikan betapa dangkalnya pemahaman manusia mengenai konsep komunikasi. BDSM, seperti halnya bentuk intimasi lainnya, sangat berfokus kepada komunikasi non-verbal dari mulai gerak tubuh, tatapan mata, ekspresi, proxemics (ruang personal), maupun artikulasi suara paralinguistik. Kepekaan atas komunikasi non-verbal inilah yang membuat koneksi antar perlaksana BDSM menjadi lebih dalam, intim, dan bersahaja.

Tentu saja kualitas komunikasi ditentukan oleh waktu, intensitas, dan konten. Tidak hanya memerlukan proses panjang, tetapi juga keragaman topik yang dibicarakan terutama mengenai aspirasi dan preferensi pribadi masing-masing, serta kesiapan tiap pelaksana untuk membuka diri dengan menunjukan sisi rentan. hal ini juga berarti bahwa ada banyak potensi manipulasi atau pemanfaatan keadaan yang bisa diambil oleh pelaksana BDSM yang jika lantas disalahgunakan akan menciptakan trauma yang membuat komunikasi menjadi makin sulit untuk korban.

Maka dari itu, penting untuk menyeimbangkan keterbukaan dengan kewaspadaan. Pelaksana BDSM harus mempunyai kemampuan komunikasi dan analisis kritis yang cukup baik untuk menilai apakah situasi yang sedang dihadapi cukup kondusif untuk melanjutkan negosiasi BDSM, melakukan aktivitas BDSM, dan mengevaluasi kualitas aktivitas tersebut. Ini juga yang membuat BDSM haruslah dilakukan tanpa pengaruh alkohol, obat-obatan, ataupun kondisi mental yang menurunkan daya fokus calon pelaksana BDSM. Proses BDSM dengan pengaruh-pengaruh tersebut sepenuhnya insidental, sangat spesifik secara konteks maupun nuansa.

IV. Aspek Caution atau Kewaspadaan

Bersama dengan kesadaran bahwa seluruh proses aktivitas BDSM mengandung potensi bahaya fisik, mental, sosial, finansial, dan sebagainya, maka tentu saja aktivitas dilaksanakan dengan penuh kewaspadaan. Tidak hanya untuk melindungi pelaksana pada saat aktivitas BDSM berlangsung, tetapi juga menutup kemungkinan penyalahgunaan dikemudian hari.

Dialektika dari teori konseptual tersebut adalah kenyataan bahwa persepsi setiap orang mengenai potensi bahaya sangat beragam. Bahkan kedua pelaksana BDSM yang sama akan punya analisa potensi bahaya yang berbeda antara satu adegan dengan adegan lainnya. Selaras dengan kompleksitas Consent yang dibahas sebelumnya, kewaspadaan bisa menjadi penghambat seorang pelaksana BDSM untuk merasakan sensasi penuh atas adegan yang dilakukan, yang seringkali sangat menantang keselamatan. Tentu saja pada praktiknya akhirnya setiap pelaksana harus mampu memutuskan dengan baik resiko apa yang mampu dan mau diambil dengan mempertimbangkan subjektifitas konsep keselamatan, nuansa dari interaksi dengan pelaksana BDSM tertentu, dan preferensi dari narasi adegan yang ingin dilakukan. Apakah aman, sadar risiko, atau kewaspadaan digunakan untuk mencerminkan dimensi negosiasi ini, aktivitas BDSM harus selaras dengan kebutuhan untuk mengakomodasi banyak fleksibilitas dan variasi.

Penting bagi kerangka negosiasi BDSM untuk memungkinkan adanya variasi pribadi dan potensi perubahan yang merupakan bagian inheren dari realitas intersubjektif dinamis masyarakat. Baber dan Murray (2001) membahas pentingnya mengenali naskah seksual pribadi yang berkembang dari pengalaman unik, pengetahuan dan pendidikan, serta paparan terhadap peristiwa. Naskah ini tampaknya berubah-ubah dan berubah, dan naskah seksual pribadi yang memasukkan BDSM sebagai tema penting tidak diragukan lagi memengaruhi keinginan untuk aktivitas BDSM tertentu dengan berbagai tingkat risiko. Naskah pribadi ini juga tampaknya membantu memotivasi peserta untuk mengembangkan keterampilan dalam menavigasi risiko hingga tingkat yang mereka rasa nyaman.

From “SSC” and “RACK” to the “4Cs”: Introducing a new Framework for Negotiating BDSM Participation, Electronic Journal of Human Sexuality, Volume 17, July 5, 2014.

Contoh pertama implementasi dari kewaspadaan selama aktivitas BDSM adalah dengan memastikan semua pihak sudah dewasa secara legal, memiliki kapasitas mental yang cukup baik untuk menghadapi seluruh proses, dan mengerti aktivitas yang direncanakan. Kewaspadaan tidak hanya mengenai kondisi diri sendiri tetapi juga kondisi kandidat lawan main. Jangan sampai lalai untuk memastikan tidak ada pelanggaran kriminal yang terjadi, termasuk ketika baru berbincang mengenai rencana aktivitas BDSM bersama. Fleksibilitas hadir dalam bentuk kebebasan menyusun narasi adegan dimana seseorang bisa berpura-pura menjadi siswa SMA atau mahasiswa yang akan menghadapi pasangan yang jauh lebih dewasa, sehingga ketimpangan kuasa bisa lebih terasa, walaupun pada kenyataannya kedua pihak merupakan orang dewasa dengan rentang umur yang serupa.

Bagi kami, kewaspadaan berkaitan erat dengan kepedulian, komunikasi, dan persetujuan. Misalnya, kesediaan untuk terlibat dalam aktivitas BDSM yang lebih menegangkan sering kali mencerminkan pemahaman, kepedulian, dan rasa hormat terhadap identitas dan realitas intersubjektif dari pihak-pihak yang mungkin juga berpartisipasi. Komunikasi yang menyeluruh merupakan bagian penting dari proses tersebut, belum lagi pemahaman tentang apa sebenarnya yang akan terjadi dalam suatu adegan tertentu.

From “SSC” and “RACK” to the “4Cs”: Introducing a new Framework for Negotiating BDSM Participation, Electronic Journal of Human Sexuality, Volume 17, July 5, 2014.

V. Aspek Caring atau Kepedulian

Aktivitas BDSM adalah bentuk interkasi yang sangat multi-dimensional, dan tiap dimensi sangatlah kompleks, holistik, multi-lapis, dan sangat lekat dengan eksistensi tiap pelaksananya. Maka dari itu, etika kepedulian dari bentuk sikap maupun perilaku yang menunjukan kepedulian kepada pasangan aktivitas sangatlah penting dalam memberikan pengalaman terbaik bagi setiap pelaksana BDSM yang terlibat. Secara alamiah, kepasrahan atas kerentanan pelaksana BDSM hanya bisa diekspresikan dalam ruang aman. Aman dalam konteks ini bukan mengenai fisik saja, tetapi juga mental, dan konsekuensial. Etika kepedulian digunakan ketika pelaksana BDSM bermaksud mengeksplorasi, melibatkan, atau memahami seksualitas akan menciptakan rasa aman, kepercayaan, dan rasa hormat terhadap pasangan nya (Orme, 2002; Parton, 2003).

Hal inilah yang menjadi pembeda utama antara BDSM dengan praktik kekerasan. Motivasi BDSM haruslah eksplorasi yang resiprokal, bukan keegoisan sepihak. Kepedulian atas pasangan walau dalam adegan BDSM yang rentan adalah bentuk kontrol diri, rasa sayang, dan menjadi ruang latihan yang sangat baik untuk membangun empati yang inklusif dan bhineka.

Berkaitan dengan etika kepedulian tersebut, filosofis dan ilmuwan Edmund Husserl mencetuskan konsep intersubjektivitas yang secara sederhana didefinisikan sebagai pertukaran pikiran dan perasaan, baik sadar maupun tidak sadar, antara dua orang atau “subyek”, yang difasilitasi oleh empati. Konsep ini lantas berkembang dengan aspek yang beragam yaitu: a) definisi yang disepakati yang dibuat oleh individu dalam situasi tertentu; b) definisi yang diciptakan komunitas yang diperkuat melalui sikap dan perilaku yang dapat digunakan komunitas tersebut untuk memahami fenomena tertentu; c) perasaan atau pemikiran bersama yang dialami oleh seseorang yang mempengaruhi pengalaman orang lain, misalnya perasaan peduli dan kasih sayang yang dirasakan bersama akan mempengaruhi perasaan terhadap orang tersebut (Benjamin, 1995; 2013; Gillespie & Cornish, 2010).

Perspektif intersubjektif ini menunjukan bahwa bahwa setiap orang memiliki pengalaman hidup yang unik yang lantas membangun pemahaman individual mengenai topik /fenomena tertentu. Cakupan hal yang terpengaruh sangat beragam, dari mulai pandangan seseorang terhadap interaksi antar gender, mentalitas terhadap konflik, cara seseorang memperlakukan dirinya dan orang sekitarnya, termasuk seksualitas dan aktivitas BDSM. Secara kolektif, perspektif intersubjektif menjadi persepsi masyarakat terhadap suatu isu atau topik. Intersubjektivitas menegaskan bahwa pemahaman individu bersifat fluid, relasional, dan selalu berubah tergantung pada konteks di mana suatu fenomena dialami. Pandangan ini berbeda dengan definisi positivis (objektif) tentang fenomena sosial, yang menyatakan bahwa pengetahuan ilmiah hanya dapat diperoleh dari eksperimen ketat yang dapat diverifikasi dan direplikasi (Ponterotto, 2005). Sebaliknya, intersubjektivitas menyatakan bahwa setiap individu mempunyai pengalaman, kemampuan, dan identitas yang unik, sehingga kebenaran objektif tidak bisa ditarik dari semua variasi pemahaman yang kadang saling kontradiktif. Intersubjektivitas mengharuskan seseorang untuk merefleksikan keyakinan individunya tentang intimasi, mengomunikasikan keyakinan dan preferensinya, dan menerima pemahaman unik orang lain.

Merangkul berbagai pemahaman yang ada sejalan dengan penggunaan etika kepedulian dalam praktik seksualitas (Allegranti, 2013; Benjamin, 2013). Jika semua individu mempunyai hasrat dan kekhawatiran yang unik, maka setiap orang perlu sangat memperhatikan dalam hal menghormati beragam keinginan dan kebutuhan orang lain sebagai hal yang sama pentingnya dengan kepentingan dirinya sendiri. Menemukan titik temu antara hasrat seksual diri sendiri dan hasrat seksual orang lain dapat menimbulkan ketegangan karena tidak ada rasa yakin bagaimana menilai, memprioritaskan, dan menghubungkan hasrat orang lain dengan hasrat diri sendiri. Memanfaatkan etika kepedulian memungkinkan seseorang menghormati orang lain bedasarkan kehidupan seksual yang setara.

From “SSC” and “RACK” to the “4Cs”: Introducing a new Framework for Negotiating BDSM Participation, Electronic Journal of Human Sexuality, Volume 17, July 5, 2014.

VI. Kesimpulan

Aktivitas BDSM yang multi-indera memerlukan pendekatan yang sehat dalam memahami dan mempertimbangkan resiko bersama. Untuk mampu menyediakan ruang negosiasi yang layak, seorang pelaksana BDSM perlu melibatkan empati dan kepedulian dalam motivasi dan ekspresinya. Dengan membangun kesadaran diri mengenai seksualitas dan preferensi BDSM diri sendiri, mendefinisikan nilai dan perilaku seksual/intimasi yang juga berarti jelajahi serta memproses segala bias, prasangka, atau potensi diskriminasi yang mungkin dimiliki terkait praktik intimasi yang belum dikenal sebelumnya.

Harus selalu disadari bahwa intimasi, seksualitas, dan BDSM adalah konstruksi sosial yang menjadi landasan nilai-nilai dan sikap budaya, yang lantas bisa dianggap sebagai perilaku yang dapat diterima dan ataupun menyimpang. BDSM memberikan ruang ekspresi yang lebih inklusif dan bhineka dengan mengembalikan pengakuan bahwa Manusia memiliki kapasitas individual yang beragam.

Berikan ruang kepada orang-orang yang berinteraksi dengan seorang pelaksana BDSM untuk menjelaskan definisi mereka sendiri tentang BDSM yang “baik”, dan tetap sadar bahwa ada berbagai definisi tentang pengalaman BDSM “baik” yang dapat diterima. Jika seseorang mengekspresikan keterlibatannya dalam praktik BDSM yang lebih aneh atau tidak konvensional, berikan kesempatan untuk orang tersebut menjelaskan nilai dan sikapnya tentang mengapa praktik tersebut menyenangkan secara pribadi. Pastikan untuk mendengarkan dengan sikap empati dan peduli, cobalah memahami bagaimana praktik-praktik ini sesuai dengan realitas subyektif seseorang yang lebih luas sembari tetap waspada atas resiko keselamatan yang ada. Dengan demikian, komunikasi bisa dilakukan dengan nuansa yang lebih bersahabat namun tetap aman, serta kesepakatan yang dicapai setelahnya akan memberikan manfaat maksimal untuk semua pihak.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *