BDSM dalam Hubungan – Memperkenalkan Konsep

BDSM didesain untuk menciptakan ruang aman dan rasa percaya. Maka dari itu aktivitas ini juga dikenal sebagai alat mempererat hubungan pasangan, sebagai katalis komunikasi non verbal antara dua manusia dewasa dengan segala kompleksitasnya. Subjektivitas ini membuat proses, perjalanan, dan pengalaman BDSM seseorang akan berbeda dengan orang lain. Faktor internal seperti kultur, pola-pikir, keterbukaan, kesiapan mental, dan kesibukan membuat permutasi proses penerimaan seseorang mengenai BDSM pun sangat beragam.

Saya dan suami bertemu tahun 2017 dimana masing-masing dari kami sudah menjalani aktivitas BDSM. BDSM lah yang menjadi topik utama bahasan kami dan awal ketertarikan satu sama lain. Maka dari itu, tidak banyak tips dan masukan yang bisa saya petik dari hubungan pernikahan kami untuk pasangan lain dimana salah satu pihak tidak mengenal BDSM. Saya harus menilik hubungan saya sebelumnya dengan pasangan yang belum paham BDSM dan pelajaran apa yang bisa saya bagikan sebagai bahan pertimbangan.

Memahami Pasangan

BDSM bisa dianggap sebagai ide baru dalam mempercantik hubungan. Namun topik ini kontroversial dan karenanya seringkali direspon dengan keenganan atau penolakan. Respon ini sangat alami dan normal, mengingat BDSM langsung mempengaruhi aspek intim seseorang, dan tentu secara alami semakin privat topik yang dibahas akan semakin protektif seseorang. Sikap protektif ini harus sepenuhnya divalidasi dan dihormati.

Sebelum merespon balik penolakan dan keresahan pasangan, yang saya lakukan adalah melihat sisi lain dari hubungan kami. Saya menganalisa kembali apakah pasangan saya adalah individu yang siap mendengar prinsip atau teori yang mungkin bertolak belakang dengan nilai hidupnya. Apakah pasangan saya sudah punya bekal kemampuan untuk memproses teori yang menantang definisi normal yang dia ketahui sebelumnya. Sejauh apa konstruksi sosial, budaya, dan agama melekat kepada identitas Pasangan sebagai individu, dan dengan demikian seberapa besar kemungkinan saya dihakimi atau dipersekusi hanya karena mengutarakan minat BDSM saya.

Harus selalu diingat bahwa BDSM tidak untuk semua orang. BDSM, terutama terkait aktivitas intim atau yang berhubungan dengan rasa sakit maupun rasa malu, adalah pengalaman yang sangat spesifik untuk market yang sangat khusus. Semakin ekstrim atau semakin tidak lazim preferensi seseorang, maka semakin sedikit kemungkinan pasangan akan bersedia berpartisipasi.

Kualitas komunikasi dengan pasangan

Setelah cukup yakin bahwa pasangan siap mendengar minat akan BDSM, selanjutnya telaah kembali pola komunikasi sejauh ini. Perlu diingat kembali mengenai sisi kontroversial atau bahkan tabu BDSM dan bagaimana menjaga pembicaraan agar tidak eskalasi ke agresi atau konflik. Kondisi komunikasi saat ini berpengaruh dengan strategi pendekatan dengan pasangan. Beberapa pertanyaan yang saya jadikan tolak ukur saat itu adalah:

Apakah kami cukup terbuka untuk berdiskusi topik yang kontroversial? Apakah diskusi tersebut bebas konflik?

Apakah rasa saling percaya cukup kuat sehingga saya bisa menyampaikan maksud dengan baik tanpa salah paham?

Apakah kami sudah pernah melakukan pembicaraan mengenai hal intim? Seterbuka apa pasangan mengenai ini?

Apakah saat ini pasangan punya kapasitas mental yang minim stress sehingga lebih rileks dalam mendengarkan?

Jika belum ada pola komunikasi yang sehat, saya tidak sarankan untuk membicarakan BDSM secara lugas untuk menghindari kesalahpahaman. Perbaiki komunikasi dengan pasangan dan bangun rasa percaya. Saya tidak punya kualifikasi ahli terapi atau psikolog untuk memberikan strategi atau masukan. Salah satu artikel yang saya rasa cukup membantu adalah https://www.kylielepri.com.au/7-essential-strategies-improve-communication-relationship/ .

Mengerti keresahan pasangan dan bantu dengan empati

Apa yang bisa dilakukan sejalan dengan proses membangun komunikasi yang sehat? membangun rasa percaya. Ekspresi minat BDSM tidak harus vulgar. Kabar baiknya, BDSM semakin marak di kultur pop. Dari mulai artis manca negara yang terbuka memakai atribut BDSM, atau buku dan film seperti “50 shades of grey”. Tentu saja tidak semua penggambaran BDSM akurat. Maka dari itu saya selektif dalam melemparkan topik pembicaraan tersebut. Saya memakai perspektif pengamat yang netral, dengan begitu pertanyaan bisa saya ajukan senetral mungkin. Perhatikan reaksi non-verbal pasangan, selain respond ucapannya. Fokus ke sudut pandang pasangan, atentif mendengarkan, dan ajukan pertanyaan lanjutan untuk deskripsi yang lebih spesifik sembari membangun alur komunikasi.

Satu hal yang pasti, semua orang senang didengarkan dan dimengerti. Maka dari itu, jika pasangan merasa tidak nyaman, atau resah, berikanlah validasi atas reaksi nya. Saya memastikan kami berdua mengerti bahwa respond negatif mengenai BDSM adalah hal yang sangat normal. Akui bahwa BDSM bisa disalahgunakan dan berakhir tragis. Akui BDSM punya potensi bahaya, yang bisa mengakibatkan kerusakan jangka panjang. Akui bahwa BDSM hanya bisa dilakukan oleh orang dewasa yang sehat secara mental, namun tidak semua orang bisa menerima BDSM. Dengan begitu nuansa pembicaraan menjadi lebih netral dan tidak terasa seperti “pendekatan bisnis”. Picu rasa ingin tahu pasangan mengenai BDSM secara umum dan bersama mencari tahu jawaban dari keraguan yang dibicarakan.

Normalisasi BDSM – keserasian BDSM dengan pola interaksi sosial antara pasangan

Dari perbincangan mengenai BDSM yang dilakukan dengan pasangan, perlu diperhatikan apakah mulai berkembang kearah praktis yang berhubungan dengan keseharian. Salah satu miskonsepsi yang beredar adalah bahwa BDSM bertolak belakang dengan kaidah hidup “normal”. Padahal banyak aspek BDSM yang merupakan cerminan dinamika sosial antar manusia, yang tidak selalu berkaitan dengan ranah intim.

Kenapa keterkaitan ini penting? Seperti pepatah “tak kenal maka tak sayang”, BDSM dengan stigma negatifnya terlanjur digambarkan sebagai preferensi intim tidak lazim walaupun pada prinsipnya BDSM memberikan alternatif keterbukaan terhadap preferensi manusia dalam berinteraksi. Dengan menunjukan bahwa BDSM sudah dipraktekan sehari-hari menggunakan istilah lain, maka diharapkan pasangan lantas mengerti bahwa BDSM tidak “semengerikan” atau se-seksual-sentris yang digambarkan di pop culture.

Aktivitas sosial apa saja yang saya gunakan sebagai contoh untuk ini?

Mulai dari konsep Consent atau persetujuan. Dalam hubungan rumah tangga pun harusnya consent tetap berjalan. Setiap pihak punya hak berkata tidak, untuk dihormati dan didengarkan. Ketika ada argumentasi, setiap pasangan tetap mengutamakan keselamatan fisik dan mental satu sama lain. Baik BDSM maupun vanilla, pemaksaan tidak dibenarkan dan dianggap kekerasan fisik maupun mental.

Untuk Bondage, saya menggunakan analogi ketika pasangan memeluk erat dan tidak mau melepaskan. Sensasi dipeluk dan dilindungi sangat mirip dengan sensasi ketika bondage. Pun jika dipeluk paksa oleh pasangan, kita tetap berontak dan harus dilepaskan segera, begitu pula bondage dalam BDSM. Kedua situasi tersebut punya nuansa yang sama. Seperti halnya hubungan percintaan, BDSM juga harus dilakukan dari rasa sayang.

Untuk D/s saya memakai dinamika yang persis sama dengan suami-istri, atau orang tua- anak. Dari mulai mematuhi peraturan, meminta ijin ketika ingin melakukan aktivitas tertentu, memberikan pelayanan ke pihak yang dominan, maupun adanya hukuman untuk pelanggaran atau kesalahan.

Pertama untuk membuktikan bahwa BDSM tidak selamanya aktivitas mesum. BDSM tidak selalu berpusat kepada seksualitas, dan kepuasan yang dirasakan juga termasuk ketenangan, rasa dilindungi, rasa didengarkan, rasa dipuji, rasa dibanggakan, dan lainnya. Disfungsi sosial yang kita rasakan sehari-hari pun berpengaruh dengan asumsi kita mengenai BDSM. Orang yang tumbuh dalam lingkungan bullying tentu sulit mengerti konsep Consent / persetujuan. Orang yang tumbuh dengan orang tua yang kasar dan dingin tentu sulit mengerti konsep bahwa sub punya hak penuh memutuskan kapan scene harus dihentikan. Orang yang tumbuh dalam lingkungan yang menghakimi, munafik, dan kaku tentu akan sulit mengerti konsep keterbukaan atas ekspresi pribadi yang unik.

Kedua untuk menunjukan bahwa disfungsi sosial yang kita alami akan terproyeksikan dalam upaya kita untuk memahami BDSM yang lebih terstruktur. Hasilnya adalah antara paranoia atau antipati dengan konsep BDSM, atau menyalahgunakan BDSM sebagai alasan kekerasan dan pelecehan. Kedua nya datang dari kondisi mental yang tidak ideal, dan sebagai poin perbaikan sebelum memulai aktivitas BDSM.

Untuk Masokistik atau yang berhubungan dengan rasa sakit, saya menggunakan aktivitas yang sangat sering dilakukan pasangan vanilla. Tepuk pantat, cubit pipi, peluk gemas, rasa sakit ternyata sudah sering digabungkan dengan ekspresi rasa sayang. Istilah “gemas” pun merujuk ke agresi sehat terhadap hal yang disukai. Pun ketika nuansanya adalah disiplin. Menepuk tangan pasangan yang mengambil makanan dengan tangan kiri, misalnya, juga menggabungkan rasa sakit ke ekspresi rasa sayang untuk tujuan disiplin.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *