BDSM – Sanity / Kewarasan
Seperti yang pernah dibahas sebelumnya, BDSM secara alami menantang insting naluriah yang dibangun oleh budaya dan kebiasaan, dalam hal mempertahankan keselamatan, ketenangan mental, dan wewenang atas diri sendiri. Walaupun demikian, jika ditelaah, peradaban manusia selalu berevolusi di sisi sudut pandang mengenai ketiga hal tersebut, Dari pemahaman mengenai kesehatan fisik, psikologi manusia, dan hak asasi manusia, semua berubah seiring perkembangan pemahaman dan ilmu pengetahuan.
BDSM, dalam aspek kesehatan mental, mendapat stigma negatif karena hal yang sama. BDSM adalah dinamika komunikasi antara 2 orang yang unik sesuai tiap individu. Hal ini membuat BDSM sangat kompleks untuk dikategorisasi secara psikologi, sulit dimengerti dari sisi “normal”, dan lantas disalahpahami sebagai hal yang berbahaya.
Jika disederhanakan, kesehatan mental dalam aktivitas BDSM merujuk ke:
- Kesejahteraan (Well-Being)
- Kepedulian (Empathy)
Keduanya dikemas dalam bentuk yang sangat berbeda dari definisi “normal” atau “mainstream” secara umum. Hal ini lah yang membuat BDSM sangat menantang dalam memahami definisi “ruang aman” secara mental.
Dalam tulisan ini saya akan fokus ke sisi kesehatan mental karena sisi fisik sudah dibahas di post sebelumnya. Semua informasi yang tersedia disini adalah berdasarkan pengalaman dan perjalanan BDSM saya pribadi dari tahun 2009. Maka dari itu, tulisan ini tidak otomatis cocok dengan semua orang diluar sana. Saya sangat menyarankan riset dan perbandingan mandiri dengan informasi yang tersedia diluar baik online maupun offline untuk memastikan saran dan masukan akan sesuai dengan kondisi masing/masing individu.
Menelaah kembali definisi dari ”Normal“
Psikologi normalitas mengacu pada perilaku spesifik seseorang yang sejalan dengan sebagian besar perilaku dalam masyarakat. Orang secara umum dapat menyesuaikan diri dengan skenario apa pun dan keadaan sekitarnya. Kesehatan mental pada umumnya bersifat menenangkan dimana seseorang dapat menghabiskan waktu tanpa stress, bekerja secara produktif, dan berkontribusi pada masyarakat. Gaya hidup sehari-hari secara spesifik dapat digunakan untuk menilai kenormalan seseorang (Gene, 2019). Normalitas seseorang ditentukan oleh perilakunya terhadap standar dan ekspektasi sosial. Dengan begitu orang-orang di sekitarnya pun mengambil sikap supportif yang menyenangkan terhadap orang tersebut. Psikolog umumnya menerima normalitas berdasarkan pola perilaku atau fitur kepribadian secara umum [1]. Artinya akan sulit untuk mengatakan apakah seseorang itu normal atau menyimpang jika hanya bergantung pada cuplikan perilaku saja.
Di sisi lain, psikologi abnormal tidak hanya mengacu pada perilaku dan emosi seseorang yang aneh atau tidak biasa. Kondisi ini dapat berupa seseorang yang memiliki pikiran yang tidak stabil, perilaku yang mudah tersinggung atau menyusahkan. Ketidakstabilan ini mempersulit orang tersebut untuk mengatasi keadaan mereka atau interaksi dengan individu lain. Orang dengan masalah yang sama mungkin mengalami gejala yang berbeda seperti kesedihan atau kesepian, susah tidur, dan fluktuasi suasana hati. Karena kompleksitasnya, kondisi psikologi abnormal bersifat spektrum dan berbeda intensitas nya antara satu orang dengan yang lain. Diperlukan ahli jiwa yang akan menelaah runtutan masalah dan memberikan perawatan yang sesuai, terkadang untuk jangka waktu panjang. Pun karena demikian, tidak selamanya abnormalitas membuat seseorang cacat berfungsi baik dalam keadaan sosial. Banyak sekali masalah mental yang tetap memberikan ruang perilaku yang kondusif untuk penderitanya, hanya dengan mencegahan pemicu kondisi abnormal.
Mekanisme Penanggulangan (Coping Mechanism) Mental
Penanggulangan (Coping) didefinisikan sebagai pola pikir dan perilaku yang dilakukan untuk mengelola situasi stress internal maupun eksternal. Istilah ini digunakan secara khusus untuk tindakan sadar dan sukarela yang dikerahkan, berbeda dari ‘mekanisme pertahanan’ yang merupakan respons adaptif bawah sadar atau tidak sadar, yang keduanya bertujuan untuk mengurangi atau mentolerir stress[2]. Stressor atau pemicu stress ada beragam. Untuk cakupan BDSM, ada 3 stressor yang terlibat yaitu Pengekangan, Penghinaan, dan Rasa sakit.
Dalam aktivitas BDSM, idealnya akan ada ruang aman untuk menerima stressor tersebut, baik salah satu maupun kombinasi. Ruang aman dalam hal ini termasuk menghilangkan atau meminimalisir konsekuensi psikologis negatif seperti breakdown, panic, anxiety, dan sebagainya. Dengan begitu baik Dom maupun sub bisa melakukan eksplorasi terhadap perasaan mereka ketika dihadapkan stress, memperkenalkan kembali stressor dalam situasi yang bersahabat, dan mengasosiasikan stressor tidak sebagai musibah atau hambatan tetapi sebagai katalis untuk mencapai penerimaan, ketenangan, dan kepuasan.
Seiring pengalaman BDSM, berkembang pula pola pikir, perilaku, dan langkah-langkah yang dilakukan untuk memproses stressor. Jika dilakukan dengan baik dan sehat, maka terciptalah coping mechanism (mekanisme penanggulangan) untuk mencapai ketenangan dalam memproses stressor tersebut.
Belajar kembali cara memproses trauma atau kecemasan
Menurut kamus American Psychological Association (APA), well-being adalah keadaan pada individu yang digambarkan dengan adanya rasa bahagia, kepuasan, tingkat stres yang rendah, sehat secara fisik dan mental, serta kualitas hidup yang baik. Dengan kata lain, individu dengan well-being yang tinggi menjaga kesehatan secara fisik dan mental agar mampu menyelesaikan tantangan, mencapai kebahagiaan, dan kepuasan dalam kehidupan.
Kesejahteraan mental dalam BDSM contohnya:
- Kepercayaan diri dalam mengekspresikan diri
- Penilaian yang lebih positif terhadap perbedaan
- Keberanian untuk mengatur batas interaksi atau perlakuan orang lain ke diri sendiri
- Objektif dalam menerima dan menyampaikan saran
- Penanggulangan yang lebih sehat terhadap trauma dan/atau luka mental
Menurut Psychologi Today, Empati adalah kemampuan untuk mengenali, memahami, dan berbagi pikiran dan perasaan orang lain, hewan, atau karakter fiksi. Mengembangkan empati sangat penting untuk membangun perilaku penuh kasih lewat cara memahami sudut pandang orang lain, bukan hanya milik sendiri, dan memungkinkan perilaku prososial dari dalam diri, bukan dipaksa.
Empati dalam BDSM contohnya:
- Menghormati Hak Asasi Manusia Dom maupun sub
- Tidak diskriminatif terhadap gender/seksualitas lain
- Keberanian untuk melindungi korban kekerasan
- Objektif dan terbuka dalam menerima saran dari orang lain (terutama sub/newbie)
- Bentuk dukungan yang lebih positif dan sehat terhadap trauma yang dialami orang lain
- Melakukan aftercare secara tulus, bukan terpaksa
Memproses faktor kesehatan mental (Sanity) dalam aktivitas BDSM
- Pra-Aktivitas
Faktor Sanity dimulai dari diri sendiri. Sebelum memulai aktivitas BDSM, atau berkenalan dengan kandidat pasangan BDSM, sangat penting untuk membangun pemahaman dan kepercayaan diri sendiri agar komunikasi dengan kandidat atau pasangan BDSM bisa dilakukan dengan lebih sehat dan objektif.
- Seberapa dalam pemahaman terhadap kesehatan mental diri sendiri?
- Apakah motivasi atau niat partisipasi BDSM sehat secara mental?
- Apakah ada trauma yang berkaitan dengan bondage, humiliation, atau pain?
- Apakah ada coping mechanism yang bisa diandalkan jika terjadi insiden?
- Seberapa sehatnya batasan atas diri sendiri, dan ketegasan atas perilaku yang tidak nyaman?
Selanjutnya semua pihak akan berdikusi mengenai poin-poin diatas ketika mendekati calon kandidat, merencanakan aktivitas, menetapkan limit (yang bisa dinegosiasi dan yang tidak bisa dinegosiasi), apa yang dilakukan ketika terjadi serangan cemas, panik, atau manic.
- Selama Aktivitas
Selama menjalani aktivitas BDSM, penting untuk selalu membaca situasi dan tendensi diri maupun pasangan. Komunikasi non-verbal sangat penting karena ekspresi linguistik untuk persetujuan dan penolakan sengaja dikacaukan sehingga ”tidak” tidak selalu berarti ”tidak”. Aktivitas BDSM yang dipengaruhi adrenalin, oxytocin, endorfin, dan hormon lainnya akan mengurangi fokus seseorang sehingga kurang awas dengan kondisi diri sendiri. Maka dari itu sangat penting untuk melakukan mental self-grounding secara berkala di tengah-tengah aktivitas.
Safeword bisa jadi solusi paling baik untuk memberikan notifikasi mengenai kondisi diri sendiri tanpa harus melalui proses berpikir yang kompleks. Singkat, jelas, tepat, safeword mengkomunikasikan perasaan tanpa harus merusak peranan. Beberapa poin yang penting untuk dimonitor selama aktivitas BDSM adalah:
- Apakah merasa aman dan percaya selama aktivitas?
- Apakah merasa diperhatikan oleh pasangan selama aktivitas?
- Apakah reaksi terhadap safeword mengakomodir dan cepat?
- Apakah batasan yang ditetapkan sebelumnya dilanggar atau ditantang?
- Apakah kontrol diri tetap ada selama aktivitas?
- Pasca-Aktivitas
Ketika aktivitas BDSM selesai, bukan berarti tidak ada lagi yang harus dilakukan. ”Dom space” dan ”sub space” adalah kondisi hormonal yang merujuk kepada penyerahan diri terhadap peran yang dimainkan karena pengaruh adrenalin, oxytocin, endorfin, dan hormon lainnya. Biasanya kondisi ini membuat seseorang ”mabuk kepayang” sehingga tidak bisa memberikan reaksi ataupun tanggapan logis. Kondisi ini pun dianggap dibawah pengaruh sehingga pertimbangan dan keputusan dianggap tidak valid. Maka dari itu, justru aktivitas BDSM yang sehat memastikan kondisi mental Dom dan sub kembali optimal untuk mendukung hidup mandiri masing-masing diluar adegan/hubungan BDSM.
Beberapa poin yang perlu didiskusikan untuk memastikan aktivitas BDSM tetap dalam jalur kewarasan:
- Proses apa yang perlu dijalani untuk mengembalikan kondisi mental?
- Dukungan apa yang diperlukan dari pasangan untuk mengembalikan kontrol diri?
- Bagaimana mengembalikan kasih sayang dan rasa hormat setelah humiliation session?
- Jika tidak ada aftercare, apa yang bisa dilakukan untuk menenangkan diri?
- Bagaimana memproses luka mental/trauma yang terjadi/terpicu selama aktivitas?
[1] https://psychologywriting.com/abnormal-and-normal-psychological-thinking/