KONSEP PERSETUJUAN – SENJATA PARADOKSIKAL MELAWAN PATOLOGISASI
BDSM from A to Z: consent as a tool against pathologization in internet BDSM “handbooks” by
Bruno Dalla Cort Zilli for CLAM. 2013. Sexuality, Culture and Politics – A South American Reader. Pp. 685-705. – ISBN 978-85-89737-82-1
Jurnal yang kali ini saya bahas berjudul ” BDSM DARI A SAMPAI Z : PERSETUJUAN SEBAGAI ALAT MENGHADAPI PATOLOGISASI DALAM ”BUKU PEGANGAN” BDSM DI INTERNET” yang ditulis pada tahun 2013 oleh Bruno Dalla Cort Zilli untuk CLAM+10 (Centro Latino-Americano em Sexualidade e Direitos Humanos) atau Pusat Seksualitas dan Hak Asasi Manusia Amerika Latin. Pembahasannya terfokus kepada salah-asosiasi BDSM dengan kelainan mental yang terbawa terus-menerus dalam sejarah antropologi medis, terutama terkait sadomasokisme, maupun kombinasi interaksi yang non-heteronormatif. Pembahasan di jurnal tersebut berfokus kepada interaksi seksual BDSM walaupun nilai atua kaidah yang dipakai bisa diimplementasikan ke aspek sosial / non-seksual lainnya. Ranah benchmark nya pun terbatas di benua Amerika saja, mengingat iklim komunikasi BDSM di tahun 2013 tentu tidak seterbuka saat ini.
Yang menarik dari jurnal ini adalah bagaimana BDSM dipandang lebih dari 10 tahun yang lalu, sebelum BDSM (sadomasokisme) etis dikeluarkan dari jurnal diagnosa psikiatris (DSM V) dirilis di tahun yang sama.
Lalu, apa itu patologisasi?
Menurut Cambridge Dictionary, Patologisasi adalah kesalahan dan ketidakadilan dengan mempertimbangkan atau menilai sesuatu atau seseorang sebagai sebuah masalah atau penyakit, terutama dalam ranah medis. Patologisasi merupakan fenomena yang marak terjadi di ruang diskusi antara orang-orang yang tidak punya kualifikasi atas topik yang dibicarakan, atau yang gagal melakukan observasi cukup atas teori yang sedang dibicarakan. Patologisasi menjadi mimpi buruk diagnosa medis karena implementasinya akan sangat mempengaruhi perlakuan dan layanan terhadap pasien, membangun opini atau asosiasi umum, dan merusak kepercayaan terhadap institusi medis. Lebih parahnya, di era sosial media, patologisasi dilakukan oleh masyarakat umum dengan motivasi untuk menipu atau memanipulasi, dan disebarluaskan oleh audiens yang tidak berfikir logis maupun kritis. Korban patologisasi yang paling terkenal adalah Perempuan dan kesehatan reproduksi mereka. Dalam ranah psikologi, seksualitas dan gender sukses dipatologisasi bahkan sampai tahap mengabaikan fakta keragaman seksual dan gender dari peradaban-peradaban pribumi sebelum kolonialisme ataupun kepercayaan abrahamik.
Patologisasi pada BDSM lahir dari popularitas literatur erotis klasik yang menggunakan medium pengekangan, penghinaan, ataupun rasa sakit sebagai upaya melebih-lebihkan fantasi. Walaupun tentu saja etis untuk menggambarkan hiperbola dalam skenario fiksi, penggunaan gambaran fiksi dalam kehidupan nyata adalah delusi dan tentu tidaklah diperbolehkan. Sayangnya dengan koridor sosial yang sangat kaku pada awal sejarah psikologi, tidak ada ruang diskusi maupun riset yang objektif. Ketiadaan kesetaraan gender antara lelaki dan perempuan, membuat perempuan sudah rentan terhadap kekerasan baik seksual maupun domestik sehingga perempuan tidak bisa mengutarakan ketidaksetujuan. Pun lelaki yang punya preferensi submissif didiskriminasi karena tidak mengeksploitasi posisi patriarkis mereka. Dengan begitu tentu saja tidak ada tanda pembeda antara BDSM yang diinisiasi maupun tidak. Alur logika yang problematik juga merupakan momok di edukasi medis pada saat itu.
“Saat ini, dalam fenomena seperti BDSM, dan khususnya dalam perjuangan hak-hak homoseksual*, kita dapat mengamati ”aktor-aktor” yang tadinya “sesat” ini berjuang dengan definisi psikiatris / patologis mengenai seksualitas mereka ketika mereka berusaha untuk mengklaim identitas seksual yang sah. Klaim-klaim ini terutama diungkapkan melalui upaya menuju legitimasi yang memiliki tujuan yang jelas dan diungkapkan melalui wacana yang dilembagakan (Cf. Foucault, 2001). Namun Psikiatri sering digunakan sebagai acuan dalam klaim tersebut. Referendum ilmiahnya digunakan dalam argumen bahwa praktik BDSM belum tentu bersifat patologis atau berbahaya. Analisis wacana legitimasi BDSM mengungkap posisi sentral dari konsep persetujuan sebagai kriteria utama untuk membedakan seksualitas yang sehat dan bentuk patologisnya. Persetujuan dalam hal ini dipahami sebagai pelaksanaan berdasarkan kemauan individu dan ekspresi keinginan rasional untuk melakukan aktivitas seksual.”
BDSM from A to Z: consent as a tool against pathologization in internet BDSM “handbooks”, Bruno Dalla Cort Zilli
*Tuntutan gerakan gay Amerika terhadap representasi homoseksualitas yang positif berdampak langsung pada psikiatri Amerika, yang pada awal tahun 1980-an tidak memasukkan homoseksualitas sebagai kategori diagnostik dalam Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh tekanan langsung dari gerakan gay terhadap definisi homoseksualitas sebagai suatu patologi. (Cf. Kutchins & Kirk, 1997)
”Buku Panduan” BDSM di Internet
Karena tidak adanya pengetahuan yang baku mengenai BDSM, maka cukup sulit untuk melakukan kontrol terhadap informasi yang beredar di internet, dari sisi dasar teori maupun kredibilitas sumber informasi. Misinformasi masih marak beredar bahkan dari profesional medis yang terkait, dikarenakan pengertian objektif BDSM baru muncul di awal dekade 2010-an. Namun demikian, kita perlu mengapresiasi aktivis, dan praktisi yang memberikan contoh konkret mengenai praktik BDSM mereka sehingga sumber informasi konstruktif menyeimbangkan misinformasi.
Pun demikian, jurnal ini juga mengangkat bagaimana Internet menjadi kanal yang ideal untuk praktisi BDSM, yang notabene masih dipatologisasi pada saat itu, untuk memperjuangkan BDSM yang sah, non-patologis, dan tidak dikriminalisasi, lewat kemudahan komunikasi secara anonim sehingga mereka bisa terhubung satu sama lain, mengutarakan gagasan atau ide yang bisa menginspirasi orang lain, dan melakukan koreksi jika ada perbedaan pendapat. Dari jaringan komunikasi ini, terbentuklah kelompok dengan minat yang sama. Wacana BDSM juga mendukung terbentuknya identitas kelompok dengan spesialisasi tertentu.
Karena beragamnya spesialisasi kelompok BDSM tersebut, maka tentu saja ketika ”Buku Panduan” BDSM muncul, akan ada berbagai versi yang terbit dengan klaim yang beragam. Lalu bagaimana pandangan praktisi BDSM di Brazil?
Jurnal ini mengambil contoh dari situs ”Secret Desire” http://www.desejosecreto.com.br yang sayangnya tidak bisa diakses dari lokasi saya (Swedia). Namun demikian jurnal ini memuat beberapa topik BDSM yang dianggap penting disana. Situs tersebut menyediakan fitur forum yang menjadi ruang konvensi mengenai ide maupun topik BDSM yang kadang diperdebatkan secara panas. Dari perdebatan tersebut berkembanglah pengetahuan dan formulasi mengenai praktik maupun teori BDSM yang lantas disempurnakan dengan adanya masukan dan koreksi dari anggota forum. Hasil diskusi ini pun dikompilasi dan dipublikasikan sebagai ”Buku Pegangan” BDSM. Forum juga merupakan format diskusi yang sangat mengakomodir pembaharuan terus menerus sehingga informasi yang diberikan bisa dimengerti dan diikuti praktisi baru.
Dari segi asal dan isinya, ”Secret Desire” menggambarkan beberapa fitur penting dari klaim legitimasi BDSM[4]:
BDSM from A to Z: consent as a tool against pathologization in internet BDSM “handbooks”, Bruno Dalla Cort Zilli
- Penegasan bahwa BDSM adalah serangkaian praktik seksual yang dipahami sebagai “gaya hidup”.
- Perlunya praktik BDSM yang sehat secara fisik dan mental, yang dimediasi oleh kepentingan keselamatan dan konsensus. Konsep-konsep ini didefinisikan dengan frasa “SSC”: aman, waras, dan suka sama suka.
- Kekhawatiran terhadap stigma penyimpangan seksual.
- Dialog dengan psikiatri, mencari legitimasi.
- Pengaruh komunitas BDSM AS dan Inggris dalam lingkungan yang menjadi ciri praktik ini.
- Pembelaan hak politik atas keragaman seksual bagi praktisi BDSM.
- Dorongan bagi seluruh praktisi BDSM untuk menguasai dan mengenal jargon teknis kegiatan BDSM agar dapat berbicara dan bertindak sesuai logika BDSM yang dapat diterima seperti yang diungkapkan oleh “SSC”. “Persetujuan” adalah kategori yang mendominasi jargon ini dan penting untuk memahami arti “BDSM yang sah”.
Jurnal ini juga menunjukan sangat pentingnya menekankan syarat ”persetujuan” di beberapa sumber informasi BDSM, termasuk mengenai usia legal dan kematangan mental yang mendasari kenapa BDSM tidak boleh dilakukan oleh dan/atau dengan anak dibawah umur. Persetujuan adalah gagasan paling dasar dari BDSM. Hal ini membatasi ruang lingkup diskusi sedemikian rupa sehingga semua pertimbangan mengenai rincian praktik dan hubungan menyiratkan bahwa aktivitas BDSM bersifat suka sama suka dan jelas tidak ada penyalahgunaan atau pelanggaran terhadap mereka yang terlibat. Bagi anggota komunitas yang dianalisis di sini, persetujuanlah yang membedakan BDSM dari kriminalitas.
Paradox Persetujuan
Yang menarik dari jurnal ini adalah persamaan dengan kondisi praktikal BDSM saat ini. Ketika semua pelaksana BDSM sepakat bahwa persetujuan adalah dasar dari aktivitas BDSM yang valid. Namun di saat yang sama, masih banyak kontradiksi ”kesepakatan untuk dilanggar” dalam skenario BDSM baik seksual maupun non-seksual. Sifat BDSM yang mendobrak limit normalitas tentu saja secara alami menjadikan kode verbal sehari-hari tidak terpakai lagi, termasuk pemahaman linguistik mengenai ”setuju” atau ”tidak setuju”. Ketika enkripsi linguistik menjadi sangat subjektif, maka bahasa dan lantas terminologi dari kosa kata yang digunakan juga tidak seragam. Hal ini membuat proses saling paham menjadi jauh lebih kompleks dan mengharuskan semua pihak untuk aktif mendengarkan dan menjelaskan.
SSC vs RACK vs PRICK adalah perdebatan yang langgeng diantara praktisi BDSM. Dalam konteks persetujuan, apa batasan seragam yang bisa menjadi solusi segala sengketa. Jika dalam SSC, keamanan adalah batas absolut, lalu bagaimana aktivitas BDSM, yang notabene bertujuan untuk menantang rasa aman, bisa dilegitimasi? Atau jika Sadar Resiko pada RACK menjadi batas absolut, sejauh mana seseorang sudah terinformasi sampai bisa dianggap mengetahui resiko, dan lantas apa syarat seseorang dianggap sadar resiko? Atau jika menggunakan PRICK yang mengedepankan tanggung jawab pribadi, lalu bagaimana penanggulangan bahaya pada aktivitas yang secara melibatkan orang lain sehingga faktor keselamatan tidak lagi milik diri sendiri?
Walau terlihat berantakan dan tidak konsisten, BDSM menunjukan dinamika interaksi manusia yang jauh lebih alami. Keunikan setiap individu membuat konsep dikotomi hanya akan mengabaikan sebagian besar populasi. Dengan konsep persetujuan yang berbentuk spektrum dalam BDSM, setiap orang bisa menemukan posisi mereka sendiri. Lantas, kompromi atau negosiasi akan lebih fokus kepada kesepakatan antara individu dengan preferensi yang berbeda, sehingga semua pelaksana BDSM harus membiasakan diri untuk berfikiran terbuka, memiliki batasan pribadi yang sehat, dan tidak diskriminatif karena keberagaman adalah normalitas.
BDSM memberikan ruang untuk memproses sebuah konflik / bahaya lewat cara yang lebih aman dan sehat. Skenario penyiksaan misalnya, secara jelas dibatasi menjadi sebuah reka adegan dimana setiap orang memilih peran serta alur kejadian yang menimpa peran tersebut. Kesadaran penuh bahwa BDSM adalah peran, membantu pelaksana BDSM membangun identitas alternatif yang membedakan dirinya sebagai manusia berdaulat dan beretika di kehidupan sehari-hari dengan dirinya sebagai budak, atau sadis. Dengan adanya proses persetujuan dan kesepakatan, tiap pelaksana BDSM bisa dengan mudah melakukan navigasi antara kehidupan sosial umum dengan kehidupan sosial dalam komunitas BDSM.
“Kebanyakan pakar BDSM menunjukkan ketidakpuasan terus-menerus mengenai definisi pasti dari persetujuan. Referensi terhadap ketidaksepakatan ini terus muncul dalam perdebatan legitimasi BDSM di internet karena adanya perbedaan interpretasi atas persetujuan dianggap sebagai elemen dasar BDSM. Secara keseluruhan, pakar BDSM mengajarkan rasa hormat terhadap sudut pandang apa pun mengenai praktik mereka selama persetujuan tetap menjadi batasan penting. Namun, ada beberapa kontradiksi dalam sikap ini dan kita dapat melihat bahwa definisi persetujuan terus-menerus dinegosiasikan. Kontradiksi ini dirasakan oleh para praktisi sendiri sebagai semacam paradoks yang melekat dalam gagasan ”menyetujui untuk dilanggar”.”
BDSM from A to Z: consent as a tool against pathologization in internet BDSM “handbooks”, Bruno Dalla Cort Zilli
Paradox ”menyetujui untuk dilanggar” sangat populer dalam permainan peran dan skenario. Untuk skenario BDSM yang provokatif, seringkali alur aktivitas dibuat acak atau tidak terduga. Elemen ketidak-terdugaan inilah yang menjadi faktor hiburan utama yang memprovokasi gairah dari setiap pemeran untuk mengeksplorasi naluri pertahanan diri mereka sedikit lebih jauh. Dengan begitu, pemeran submisif diharuskan untuk merespond dengan penolakan agar skenario berjalan secara masuk akal, dan Dominan punya pembenaran untuk melakukan adegan BDSM yang sudah disepakati. Dalam tahap negosiasi, hampir selalu ada 2 lapisan persetujuan: Persetujuan mengenai elemen pertahanan diri mana yang akan dilanggar, dan kesepakatan mengenai sejauh mana pelanggaran tersebut boleh dilakukan. Dari tahap itu saja sudah ada 2 juxtaposition antara ”Tidak” yang berarti ”Tidak”, dengan ”Tidak” yang berarti ”Silahkan”.
Safeword (Kata Pengaman) diciptakan untuk menyelesaikan permasalahan Schrödinger’s respond (respon Schrödinger). Safeword adalah kata spesifik yang dipakai untuk menyampaikan maksud sesungguhnya, karena makna ”iya” dan ”tidak” menjadi buram selama aktivitas BDSM. Safeword harusnya tidak relevan dengan skenario. Misalnya ”Pisang” sebagai ”Berhenti”, ”Apel” sebagai ”pelankan”, dan ”Melon” sebagai ”Lanjutkan”. Atau bentuk klasik yaitu warna biru, hijau, kuning, dan merah.
“Kata aman mewakili kendali ideal atas aktivitas BDSM – meskipun tujuan erotis BDSM melibatkan penyerahan diri kepada pasangan, atau dengan kata lain, melepaskan kendali. Hal ini menjadi perdebatan bagi banyak praktisi ketika mereka membahas arti “sebenarnya” dari persetujuan. Namun, batasan yang ditetapkan oleh aturan keamanan BDSM menentukan bahwa hanya keinginan setiap peserta yang dapat diterima. Kata pengaman menjamin keamanan, menekankan satu hal yang dianggap penting untuk setiap hubungan BDSM: komunikasi. Komunikasi memungkinkan terjadinya negosiasi, yang pada gilirannya membuka pintu menuju persetujuan – dan tanpa persetujuan tidak ada BDSM.“
BDSM from A to Z: consent as a tool against pathologization in internet BDSM “handbooks”, Bruno Dalla Cort Zilli
“Kata pengaman perlu ditanggapi dengan serius. Kadang-kadang seseorang mungkin melakukan aktivitas BDSM dengan Dominan yang tidak dkenal dengan baik, dan jika mereka melakukan sesuatu yang tidak diinginkan, penting bagi tiap pelaksana untuk memiliki cara untuk memberi tahu kondisi mereka, SEGERA. Apalagi jika seseorang dalam keadaan terikat atau dibuat tidak berdaya.”
http://www.unrealities.com/adult/ssbb/c.htm
DINAMIKA PERAN
BDSM dilakukan dalam 2 permukaan: fisik dan mental. Stimulus bisa diberikan ke salah satu permukaan maupun keduanya secara simultan. Yang menetapkan seberapa menyeluruh adegan BDSM adalah semua pihak, baik Dom maupun sub punya hak yang sama dalam melakukan seleksi dan negosiasi adegan. Baru setelah ada kesepakatan lah lantas adegan BDSM bisa dilakukan.
Secara mental, BDSM menciptakan ketimpangan kuasa yang memicu penghinaan dan penguasaan terhadap antara satu pihak ke lainnya yang ditafsirkan sebagai upaya manipulasi rasa sakit secara emosional dan psikologis. Aktivitas ini tidak selalu melibatkan stimulasi terhadap alat kelamin, atau bahkan kontak fisik. Walaupun demikian, nuansa erotis yang dirasakan kedua belah pihak menjadi kenikmatan yang menarik. Aspek utama dari aktivitas BDSM mental adalah rasa percaya dan kemesraan pihak yang terlibat, dimana komitmen dan jalinan emosional akan meningkatkan rangsangan secara eksponensial. Dengan adanya kepercayaan bahwa Dom akan menjaga kewarasan sub, dan sub akan memberikan ruang agar Dom bisa berkuasa dengan nyaman, maka dinamika timpang kuasa bisa dilakukan secara mulus. Semua berawal dari persetujuan dan kesepakatan yang layak.
“Disisi lain, aktivitas BDSM fisik menitikberatkan kepada stimulasi tubuh. Rangsangan fisik yang paling intens adalah rasa sakit. Ketika hubungan BDSM ditandai dengan rangsangan fisik apa pun, rasa sakit menjadi isu utama. Menurut “Buku Pegangan”, rasa sakit dianggap sebagai rangsangan erotis yang kuat, namun harus selalu dikelola secara hati-hati dan teknis. Tujuan yang ideal adalah untuk menimbulkan kenikmatan yang intens melalui penerapan pemicu sensorik yang menyebabkan/meningkatkan gairah seksual pelaksana aktivitas. Dengan demikian jelas bahwa kesenangan BDSM tidak hanya terkait dengan “rasa sakit”, tetapi dengan rasa sakit yang dikaitkan dengan kesenangan: rasa sakit diberikan dengan cara tertentu, secara teknis dan dengan tujuan semata-mata untuk rangsangan erotis. Hubungan ini dikenal sebagai SM, atau sadomasokisme.”
BDSM from A to Z: consent as a tool against pathologization in internet BDSM “handbooks”, Bruno Dalla Cort Zilli
KONTROVERSI BDSM
Tentu saja kita perlu sepenuhnya menerima kenyataan bahwa BDSM masih dianggap tabu atau bahkan bermasalah. Penelitian dan pemahaman mengenai sisi psikologis manusia masih sangat terbatas dogma pola pikir 2 polar, hitam-putih, benar-salah, Perempuan-Lelaki, dan normal-abnormal. BDSM yang berbasis spektrum dan kombinasi menjadi sangat membingungkan. Sayangnya kebudayaan post-kolonial tidak mengakui kemajemukan. Pendidikan industrial merancang manusia menjadi entitas yang fungsional secara komersial, dan tidak lagi mengindahkan ekspresi pribadi yang lebih kaya warna.
Pertanyaan mengenai bahaya BDSM harusnya dimulai dari sudut pandang bahwa semua hal dalam kehidupan mempunyai potensi bahaya. Makan pun berbahaya jika tidak diatur. Pun dogma agama yang disalahgunakan akan berujung ke gerakan ekstrimis yang destruktif. Maka dari itu, untuk menganalisa BDSM sebagai ekspresi seksual atau non-seksual dengan objektif, harus dipisahkan antara aktivitas dengan motivasinya. Seperti beladiri, dipisahkan antara aktivitas melukai dengan motivasinya. Pada akhirnya istilah ”normal” harus direkonstruksi makna sosial nya. ”Abnormal” dinetralisasi kembali ke makna aslinya yaitu ”tidak biasa” yang bukan sinonim dengan ”Bahaya” maupun ”Penyakit”, sehingga penelitian bisa fokus lebih objektif terhadap aspek bahaya yang sebenarnya seperti reaksi trauma, perilaku anti-sosial, ketiadaan kontrol, dan niat jahat.
“Buku pegangan” BDSM membahas penyebab dan asal mula hasrat erotis BDSM, namun hanya untuk menentukan bahwa asal mula jenis preferensi erotis tertentu tidak diketahui atau tidak dapat diidentifikasi dengan jelas—seperti halnya hasrat heteroseksual atau homoseksual. Misalnya, hasrat BDSM tidak boleh dikaitkan dengan pelecehan pada masa kanak-kanak. Argumen semacam ini menunjukkan interpretasi yang lebih bersifat psikologis/psikoterapi terhadap gangguan seksual. Selain itu, kriteria klasifikasi penyakit mental saat ini yang digunakan oleh psikiater tidak mengacu pada proses atau struktur psikologis yang mendasari gejala perilaku dari diagnosis tertentu (seperti gagasan psikoanalitik tentang neurosis). Kriteria ini memungkinkan argumen yang membedakan antara perilaku patologis dan perilaku lainnya. Perilaku lain yang berhubungan dengan gaya hidup dapat dilakukan. Ini adalah manuver yang penting dalam klaim legitimasi BDSM.”
BDSM from A to Z: consent as a tool against pathologization in internet BDSM “handbooks”, Bruno Dalla Cort Zilli
Perubahan sudut pandang lantas akan merubah pola pikir seseorang mengenai BDSM. Tidak hanya memudahkan pelaksana aktivitas BDSM untuk menerima keragaman preferensi sebagai bagian alami dari identitasnya sebagai manusia, tetapi juga memudahkan semua pihak dalam mempelajari dan menggunakan kapasitas ”Consent” atau persetujuannya. Dengan menghilangkan patologisasi dari BDSM, rasa bersalah atau ketakutan atas minat BDSM pun hilang, pelaksana tidak merasa pasrah dengan keadaan lalu mengindahkan negosiasi, atau lebih parah lagi rasa bersalah maupun ketakutan tersebut dimanfaatkan orang lain lewat manipulasi. Sama halnya dengan latihan beladiri, jika dilatih dengan bijak maka akan terbangun disiplin serta kemampuan untuk mengukur kekuatan diri serta apresiasi terhadap hidup orang lain, sedangkan jika tidak dilatih dengan bijak maka akan menciptakan mesin pembunuh yang membabi-buta.
”Jika Anda mempunyai masalah seputar harga diri Anda, dan jika Anda merasa bahwa bersikap patuh (walaupun mungkin merupakan ide yang menarik) dapat memperkuat dan mengkonsolidasikan citra diri negatif Anda, sebaiknya pikirkan baik-baik apakah permainan D/s ini cocok untuk Anda pada tahap kehidupan Anda saat ini. Jawabannya mungkin “tidak”. (Dan sebaliknya, jika Anda mempertimbangkan untuk mengungguli seseorang yang ingin menyerah karena Anda merasa mereka tidak pantas mendapatkan yang lebih baik, Anda mungkin perlu mempertimbangkan mengapa Anda menginginkan pasangan yang tidak mempunyai harga diri.) Secara umum, sangat penting bagi semua orang yang melakukan SM untuk memperhatikan dengan cermat motivasi dan batasan mereka, dan memperjelas apakah SM (apa pun bentuknya) bersifat mengaktualisasikan diri atau merusak diri.”
http://www.unrealities.com/adult/ssbb/c.htm