Review Jurnal BDSM – Subspace
“No Pain, No Gain?: Therapeutic and Relational Benefits of Subspace in BDSM” oleh Dulcinea Pitagora dari Widener University
Untuk mengembangkan pengetahuan mengenai perkembangan penelitian dan pembahasan mengenai BDSM di dunia, kali ini saya akan mencoba membahas studi BDSM dari institusi pendidikan dan profesional luar negeri. Saya pribadi merasa pemahaman BDSM dari lensa akademik akan memberikan sudut pandang berbeda mengenai aktivitas personal tersebut.
Sekilas mengenai peneliti jurnal mengenai “Tidak ada hasil tanpa usaha?: Manfaat terapeutik dan relasional dari Subspace dalam BDSM” yaitu Dulcinea Alex Pitagora, PhD, LCSW, CST dari Widener University. Beliau meraih gelar Master of Arts (MA) di bidang Psikologi dari New School for Social Research, Master of Social Work (MSW) dari New York University, Master of Education (MEd) dan Doktor dalam Clinical Sexology (PhD) ) dari Widener University, dan merupakan Certified Sex Therapist (CST) dan Supervisor CST AASECT. Berpraktik di New York City dengan cakupan terapi individu, pasangan/pasangan, dan multi-pasangan, serta afirmatif terhadap LGBQ, trans, poli, dan kink. Beliau juga merupakan profesor studi kesehatan seksual di Universitas New York; telah menerbitkan beberapa artikel dan bab di jurnal yang dipresentasikan pada konferensi dengan topik seksualitas alternatif dan keragaman gender. Informasi lebih lanjut bisa dilihat di LinkedIn : https://www.linkedin.com/in/dulcineapitagora
Pun jurnal kali ini telah dipublikasi dalam Journal of Positive Sexuality 2017 yang saya unduh di link berikut: https://www.academia.edu/35126571/No_Pain_No_Gain_Therapeutic_and_Relational_Benefits_of_Subspace_in_BDSM_Contexts
Hal menarik yang disampaikan di awal tulisan Dulcinea Pitagora dari Widener University adalah ketika Beliau mengamini bahwa pelaksana BDSM maupun komunitasnya telah digambarkan secara tidak akurat. “Komunitas BDSM secara historis telah difitnah dah dipersalahkan lewat stereotipe yang beredar lewat paparan media dan edukasi yang tidak memadai (Langdrige, 2006).” Maka dari itu, tentu saja pembahasan dan pemahaman yang benar mengenai BDSM juga menjadi sangat terbatas. Fenomena ini tidak hanya terjadi di ruang lingkup BDSM saja. Edukasi mengenai kesehatan perempuan, reproduksi, kesehatan mental pun masih jadi korban penelitian akademis yang kental akan bias partiarki. Maka dari itu, tidak jarang informasi mengenai golongan sosial yang termarjinalisasi (sayangnya masih termasuk perempuan pada umumnya) banyak yang salah kaprah atau bahkan menyesatkan.
“Selain itu, sejarah patologisasi praktisi BDSM yang hanya berfokus kepada interaksi non-konsensual dengan muatan sadisme atau masokisme sebagaimana didefiniskan di manual statisitik dan diagnostik gangguan mental dari asosiasi psikiater amerika tahun 2013 [Richters et al., 2008] memberikan bias stigma atas BDSM konsensual. Namun demikian, selama 2 dekade terakhir peneliti sudah lebih menganggap BDSM sebagai alternatif keinginan dan ekspresi yang tidak wajar namun sehat yang diikutsertakan dalam pembendaharaan seksual sejumlah 10% dari populasi umum (Langdridge & Barker, 2007; Masters et al., 1995; Richters et al., 2008), dan fantasi dari 30% sampai 60% populasi (Joyal, 2015; Joyal, Cossette, & Lapierre, 2015).”
No Pain, No Gain?: Therapeutic and Relational Benefits of Subspace in BDSM Contexts , Dulcinea Pitagora -Widener University
Selanjutnya mengenai fenomena “Subspace” yang menjadi fokus dari jurnal ini. Istilah ini sangat sering terdengar dalam diskusi ataupun pembicaraan BDSM di tanah air. Subspace kadang menjadi tolak ukur “kualitas” seorang sub maupun Dom dalam menjalankan adegan BDSM. Walaupun demikian saya jarang mendengar penjelasan mengenai Subspace. Seringkali istilah Subspace tercampur dalam konteks “sex-craze” maupun sekedar “orgasme”. Lewat jurnal ini, Subspace dibahas dengan lebih jelas.
““Subspace”, secara analisis fenomenologis interpretatif dari literatur ilmu sosial dimaknai sebagai keadaan psikofisikal (yaitu hubungan psikologikal dan fisioligikal yang saling interaktif) yang terjadi dalam konteks interaksi BDSM. Secara sederhana, hal ini diartikan sebagai sebuah kondisi dimana seseorang merasakan sensasi psikologis yang terasa di tubuh fisiknya. Ketika perasaan di dalam pikiran juga ikut dirasakan badan secara sinkron. Keadaan ini sering dikarakteristikan dari aktivasi sistem syaraf simpatetik, pelepasan epinefrin dan endorfin, yang disertai periode relaksasi dalam dan non-verbal. Perubahan kondisi kesadaran ini mungkin juga disertai perasaan de-personalisasi dan de-realisasi sesaat (ludwig, 1966), yang secara umum dialami sebagai pengalaman positif dan menyenangkan dalam konteks aktivitas BDSM, dan memungkinkan untuk meningkatkan koneksi serta kemesraan antar pasangan (Sagarin et al., 2003, Sagarin et al., 2015).”
No Pain, No Gain?: Therapeutic and Relational Benefits of Subspace in BDSM Contexts , Dulcinea Pitagora -Widener University
Dari pembahasan tersebut dibenarkan bahwa Subspace erat kaitannya dengan komunikasi non verbal yang seringkali diakses melalui kegiatan seksual, sehingga pencapaiannya berkaitan erat dengan kepuasan seksual. Namun demikian, karena Subspace fokus kepada keadaan psikofisikal, maka fenomena ini dapat dicapai tanpa interaksi seksual maupun stimulasi pada organ seksual. Maka dari itu ditunjukan bahwa BDSM memberikan manfaat intim yang lebih beragam dan inklusiv terutama untuk individu dengan batasan seksual.
“Saat ini pelaksana BDSM dianggap sebagai persilangan dari masyarakat dengan representasi antar ras, umur, tingkat pendidikan, dan status sosio-ekonomik, termasuk juga identifikasi terkait gender dan seksualitas (Pitagora, 2013).”
Pitagora, D. (2013) Consent vs. coercion: BDSM interactions highlight a fine but immutable line. New School Psychology Bulletin, 10(1), 27-36.
Ada 3 hal yang dibahas dalam jurnal ini:
1. Persamaan yang ada dalam keragaman ruang interaksi dan aktivitas BDSM.
2. Untuk mendapatkan pemahaman dari pergerakan psikologis dan kognitif (semisal subspace) yang dirasakan beberapa praktisi BDSM submisif selama interaksi BDSM berlangsung.
3. Untuk mengeksplorasi potensi manfaat dari subspace yang mungkin dirasakan selama interaksi BDSM konsensual.
Ruang interaksi dan aktivitas BDSM
Serupa dengan informasi yang saya kemukakan dalam tulisan saya sebelumnya di website ini, ada 3 unsur utama yang mendasari interaksi BDSM: Pengekangan (fisik maupun mental), dominasi (penghinaan, penghambaan, dsb), dan rasa sakit. Implementasinya pun merupakan kombinasi dan permutasi dari ketiga unsur tersebut. Variable yang berpengaruh pun beragam: minat, intensitas, kecocokan dengan partner, mood, jangka waktu, kondisi fisik dan lainnya.
Perspektif peserta yang terlibat juga sangat penting. BDSM memperkenalkan kembali mengenai konsep Consent atau persetujuan yang terasa lebih jelas dibandingkan aktivitas yang umumnya terjadi. Penekanan atas kewenangan yang sama dari semua pihak, baik top maupun bottom, dalam menentukan bagaimana aktivitas BDSM akan berlangsung dianggap sebagai langkah progresif atas pengakuan terhadap kedaulatan diri terutama untuk individu yang termarjinalisasi. Konsep persetujuan ini lah yang membedakan BDSM consensual dengan kekerasan fisik maupun seksual. Dengan begitu BDSM dengan jelas memisahkan diri dari stereotip kelainan mental yang difitnahkan terhadapnya sejak dulu.
“Tergantung pada perspektif peserta yang terlibat, mungkin ada lebih banyak penekanan pada pengekangan dan disiplin, yang sering melibatkan berbagai pembatasan fisik dengan atau tanpa penambahan rasa sakit; pada sadomasokisme, yang biasanya berfokus pada sensasi atau ancaman rasa sakit untuk mencapai kepuasan intim; atau pada pertukaran dominasi, yang berfokus pada dinamika kekuasaan antara satu orang dengan lainnya, yang menggantikan aktivitas lainnya (Kolmes et al., 2006; Newmahr, 2010; Nichols, 2014; Weinberg, 2006).”
No Pain, No Gain?: Therapeutic and Relational Benefits of Subspace in BDSM Contexts , Dulcinea Pitagora -Widener University
Pemahaman mengenai “Subspace”
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, Subspace merupakan fenomena yang secara eksklusif dialami oleh Submisif, atau bottom pada umumnya, yang diidentifikasi sebagai posisi yang reseptif, pasif, dan tidak berdaya. Fenomena ini terjadi dimana Submisif dapat melepaskan kedaulatan, termasuk kekhawatiran, sebagai dirinya sendiri dan merubah kondisi kesadarannya menjadi terpusat atas tubuhnya sehingga pikiran bisa secara penuh memproses perasaan dan sensasi fisik yang dialami. Biasanya kondisi ini diikuti dengan rasa bebas, tenang, maupun katharsis yang lantas memfasilitasi pelepasan emosi yang terpendam maupun kelegaan atas beban hidup. Efek jangka panjangnya pun beragam, dari mulai regulasi emosi yang lebih baik, penerimaan terhadap diri sendiri, penurunan tingkat stress secara umum, dan meningkatnya kualitas hubungan dengan partner BDSM.
“Karena pelaksana aktivitas BDSM yang mengidentifikasi diri sebagai sadis, dominan, atau atasan dalam adegan tertentu umumnya dibebankan dengan posisi memantau dan melindungi pasangan mereka, bawahan dalam adegan tersebut mungkin ada di situasi yang lebih baik untuk mencapai perubahan keadaan kesadaran dan transendensi (Newmahr, 2010). Pelaksana dengan peran submisif, penerima stimulus, atau pasif akan punya kesempatan untuk melepaskan kewaspadaan internal mereka sendiri selama interaksi dengan Dominant yang mereka percaya mampu menjaga kenyamanan ruang ekspresi dalam aktivitas BDSM agar submisif lantas bisa memasrahkan diri. Kondisi spesifik ini adalah persilangan dari Konvergensi ini hasil negosiasi, rasa percaya, persetujuan yang resiprokal, yang lantas membantu submisif untuk melepaskan kewaspadaan mereka, yang lantas membuka jalan masuk ke kondisi “Subspace”.”
No Pain, No Gain?: Therapeutic and Relational Benefits of Subspace in BDSM Contexts , Dulcinea Pitagora -Widener University
Eksplorasi potensi manfaat dari subspace dalam interaksi BDSM konsensual
Jurnal ini membahas sebuah kondisi bernama Altered State of Consciousness (ASC) atau Perubahan kondisi kesadaran, yang merupakan kondisi yang dialami seseorang selama berada dalam “Subspace”. Dalam sejarah, ASC telah dilaporkan sebagai kondisi meditatif yang erat kaitannya dengan praktek spiritualitas. ASC memberikan akses kepada seseorang untuk terfokus terhadap rasa dalam diri, sehingga selanjutnya bisa membangun makna atas pengalaman dirinya, sebagai katarsis emosi, dan peremajaan mental. Hal ini pun dirasakan dan diharapkan dari banyak pelaku BDSM dari jenis kegiatan manapun.
“Meskipun jarang ada literatur akademis yang mendokumentasikan keberadaan subspace, sebagian besar literatur menghubungkan pengalaman subspace dalam interaksi BDSM dan ASC (Ambler et al., 2017; Hennen, 2008; Lee et al., 2016; Newmahr, 2010; Sagarin dkk., 2015). Newmahr (2010) menciptakan hubungan antara konsep kondisi aliran (kesadaran) dengan subspace untuk mengambarkan penyerapan intens yang terjadi dalam interaksi BDSM. Sebuah hubungan antara subspace dan hipofrontalitas transien tercatat dalam studi eksplorasi keadaan kesadaran yang berubah dalam ritual ekstrem; Pengalaman-pengalaman ini lantas dibandingkan dengan ASC yang terkadang terjadi dalam interaksi BDSM (Lee et al., 2016).”
No Pain, No Gain?: Therapeutic and Relational Benefits of Subspace in BDSM Contexts , Dulcinea Pitagora -Widener University
Lalu bagaimana pelaksana aktivitas BDSM bisa mencapai transendensi kesadaran? Jurnal ini menjelaskan bahwa dari penelitian yang telah dilakukan sejak 1984, atau mungkin sebelumnya, ada 2 cara yang dipakai untuk mencapai “subspace”.
“Pemahaman mengenai konteks dan motivasi dalam interaksi BDSM sangatlah penting dalam mengungkap arti interaksi tersebut untuk tiap pribadi yang terlibat, dan lantas manfaat terapeutik dari interaksi-interaksi tersebut. Hal yang membuat sebuah scene penuh arti tergantung kepada kumpulan pesertanya, aktibitas apa yang mereka pilih secara kolektif, dan arti spesifik apa yang mereka sematkan dalam konteks yang diberikan (Langdridge, 2007; Yost, 2010). Literatur mengungkapkan dua tema utama mengenai metode dimana seseorang dapat memilih untuk menyematkan makna pada interaksi mereka, termasuk: memasukan unsur rasa sakit untuk mencapai keadaan kesadaran transenden atau terubah; dan upaya untuk memajukan kesadaran diri melalui pembuatan dan memeragakan skrip seksual (Alison et al., Nordling, 2001; Santtila et al., 2002).”
No Pain, No Gain?: Therapeutic and Relational Benefits of Subspace in BDSM Contexts , Dulcinea Pitagora -Widener University
Transendensi via rasa sakit
Masokisme memberikan sensasi fisik yang dianggap paling ekstrim karena berfokus kepada rasa sakit yang langsung direspond otak. Sensasi fisik ini dianggap paling efektif untuk mengalihkan fokus seseorang kepada dirinya sendiri mengingat reaksi tubuh berlangsung cepat. Masokisme menciptakan ruang ekstrim dimana rasa sakit tidak diharapkan untuk direspond dengan penolakan maupun hindaran, sehingga mekanisme logika yang berlaku secara normal tidak lagi berlaku. Hal ini bisa membuat identitas sosial seseorang tidak lagi relevan, sehingga penerima rasa sakit dipersilahkan untuk menanggalkan restriksi identitas sehari-hari, dan membangun identitas yang lebih konsensual, jujur, dan holistik terhadap dirinya sendiri.
“Diusulkan bahwa ketiadaan berkala dari kesadaran diri dan tekanan yang terkait dengan pemeliharaan identitas dapat memberikan bantuan dalam bentuk terapi pengurangan stres. Penting untuk dicatat bahwa konteks memainkan peran penting dalam eksplorasi masokisme konsensual. Artinya, individu yang mencari jenis interaksi ini melakukannya dengan partner spesifik dan dalam konteks adegan yang dinegosiasikan; hal ini umumnya tidak terjadi di sebagian besar interaksi interpersonal mereka dalam kehidupan sehari-hari.”
No Pain, No Gain?: Therapeutic and Relational Benefits of Subspace in BDSM Contexts , Dulcinea Pitagora -Widener University
Transendensi via naskah seksual
Transendensi ini menarik karena mengemas BDSM sebagai peranan yang didesain spesifik sesuai kebutuhan pelaksana nya. Berbeda dengan beberapa opini di Tanah Air yang serta-merta melabeli BDSM sebagai “identitas permanen” seseorang yang terasa dogmatis karena seakan-akan BDSM harus dilakukan full-time dan jeda dianggap “kelemahan”, jurnal ini terasa jauh lebih inklusif dan ramah untuk kebanyakan orang yang perlu menyeimbangkan antara kehidupan sehari-hari dengan interaksi BDSM yang privat. Dengan memposisikan BDSM sebagai permainan peran, maka ada naskah yang perlu dibangun dan disepakati bersama. Menurut saya pribadi, BDSM sebagai peran terasa jauh lebih sejalan dengan kaidah konsensual atau persetujuan yang menjadi prasyarat utama. Lewat naskah BDSM menjadi lebih terorganisir dan lebih pasti dari segi batasan peran, batasan waktu, dan tempat. Dengan begitu akan lebih mudah bagi semua orang untuk membedakan identitas satu dan lainnya, serta waktu transisi antara identitas BDSM dengan identitas sosial mereka.
Dalam menegosiasikan spesifikasi dari sebuah interaksi BDSM, dan bagaimana sebuah kegiatan akan terjadi di dalam batasan yang dikontrol secara hati-hati dan terikat oleh aturan-aturan yang disepakati, sebuah konteks diciptakan di mana karakteristik psikologis seorang individu dapat ditekankan dan ekspresikan (Weinberg et al., 1984). Dalam jenis fantasi terbingkai yang diwujudkan dalam waktu nyata ini, peserta BDSM dapat berperilaku dengan cara yang mungkin tidak dapat diterima atau diharapkan secara sosial dalam kehidupan sehari-hari, yang lantas memungkinkan mereka melepaskan rasa bersalah dan kendala sosial (Weinberg, 2006). Jenis Interaksi ini dapat berdampak pada evolusi identitas individu tersebut, termasuk cara mereka memilih untuk mengekspresikan diri secara seksual (Santtila et al., 2002; Taylor & Usser, 2001). Salah satu manfaat dalam negosiasi persetujuan yang terjadi dalam interkasi BDSM adalah peningkatan kesadaran dan introspeksi yang dapat diperoleh peserta lewat diskusi adegan tersebut (Barker, 2007).
No Pain, No Gain?: Therapeutic and Relational Benefits of Subspace in BDSM Contexts , Dulcinea Pitagora -Widener University
Dalam jurnal ini disebutka bahwa antara tahun 1976 sampai 1983, ada tim peneliti yang mewawancarai anggota komunitas BDSM di San Fransisco dan New York mengenai karakteristik dari praktik BDSM mereka. Ditemukan bahwa banyak pelaksana BDSM yang memanfaatkan pengaruh silang antara kolaborasi dan konteks adegan untuk menciptakan makna dari sebuah tindakan seksual, yang berarti semua aksi dalam adegan mempunyai arti dan fungsi, yang selanjutnya berkembang menjadi pengalaman BDSM yang lebih komprehensif.
“Studi tersebut menunjukkan bahwa ada lima komponen integral untuk membangun sebagian besar interaksi BDSM: 1) menetapkan peran kuasa (misalnya dominan, submisif); 2) konstruksi eksplisit dari permainan peran, atau fantasi yang akan diwujudkan; 3) sifat negosiasi dan persetujuan yang melekat pada peran-peran dan permainan peran ini; 4) upaya yang dilakukan peserta untuk menempatkan diri mereka dalam konteks seksual tertentu, terkait dengan makna yang secara kolektif diberikan pada peran dan permainan peran ini; dan 5) bahwa definisi kolektif para peserta mengenai kegiatan yang mereka lakukan ditafsirkan secara berbeda tergantung pada individu-individu spesifik dan konteks yang mereka ciptakan.”
Weinberg, M., Williams, C., & Moser, C. (1984). The social constituents of sadomasochism. Social Problems, 31, 379–389.
Penaskahan BDSM juga memberikan rasa aman mengenai batasan aktivitas yang akan dilakukan sehingga Submisif bisa lebih tenang menjalani adegan. Hal ini berbeda dengan rasa was-was yang diciptakan dri kondisi yang tidak terduga, sehingga perubahan kondisi kesadaran dicapai lewat relaksasi, bukan keruntuhan mental akibat kekerasan.
“Mereka menemukan bahwa aktivitas BDSM sering kali berdasar pada naskah dan oleh karena itu secara kolaboratif menunjukkan bahwa repertoar seksual individu terkonstruksi secara sosial (yaitu, dituliskan, dinegosiasikan, dan disepakati) dalam konteks seksual tertentu (yaitu, kolaborasi adegan BDSM) (Alison dkk., 2001 ;Weinberg dkk., 1984).”
No Pain, No Gain?: Therapeutic and Relational Benefits of Subspace in BDSM Contexts , Dulcinea Pitagora -Widener Universit
Evolusi sosial lewat BDSM
Poin tambahan yang saya temukan di jurnal ini adalah bagian spesifik yang menggarisbawahi perkembangan seseorang dalam memperluas dan memperkaya identitasnya lewat aktivitas BDSM. Seperti halnya kumpulan sosial pada umumnya, interaksi antar individu memperluas wawasan masing-masing, dan dengan berkembangnya relasi antara individu, maka tiap orang memiliki kesempatan untuk merasakan keterkaitan dengan minat kolektif dalam kumpulan tersebut, yang lantas bisa berkembang menjadi satu aspek baru dari identitas seseorang. BDSM memberikan manfaat positif di proses introspeksi dan pengembangan personal seseorang. BDSM membuka ruang diskusi baik kepada diri sendiri maupun dengan partner aktivitas, yang bebas dan terbuka. Pelaksana BDSM merasakan bahwa penemuan internal dan masukan eksternal menjadi lebih berarti karena tidak lagi terbatas oleh koridor ekspektasi sosial, walau tentu saja harus tetap disampaikan dengan sopan dan terhormat. Lewat penemuan dan masukan ini, seorang pelaksana BDSM bisa mendapatkan pemahaman yang lebih luas mengenai dirinya sendiri, diterima dan dihargai secara utuh, yang lantas menambahkan warna terhadap identitasnya sebagai seorang manusia. BDSM yang dilakukan dengan benar akan berakibat positif terhadap kepercayaan diri, kedaulatan atas diri sendiri, dan ekspresi diri.
Lebih jauh lagi, mereka menemukan bahwa banyak aktivitas yang dipetakan erat dengan tema naskah seksual yang berlekatan berdasarkan pengalaman pribadi yang berbeda-beda, sehingga menunjukkan bahwa aktivitas ini memiliki makna yang berbeda tergantung pada individu yang terlibat dan konteks interaksi tertentu (Alison dkk., 2001). Temuan ini menyoroti bahwa pilihan aktivitas BDSM pelaku berevolusi melalui proses sosialisasi dan pengalaman individual masing-masing, yang sering kali mengarah pada perilaku seksual dan pembentukan pola seksual baru (Alison et al., 2001). Dengan cara ini, interaksi BDSM yang berfokus pada persetujuan dan pemberlakuan naskah seksual dapat dikatakan membantu lebih jauh perluasan identitas seseorang.
No Pain, No Gain?: Therapeutic and Relational Benefits of Subspace in BDSM Contexts , Dulcinea Pitagora -Widener University
Demikian penjelasan yang bisa saya berikan mengenai jurnal BDSM ini. Saya menyadari bahwa kemampuan saya dalam menelaah informasi yang disampaikan akan sangat terpengaruhi oleh bias pribadi dan keterbatasan pengetahuan yang saya miliki. Maka dari itu saya sangat menyarankan Anda untuk membaca jurnal tersebut, memahami informasi yang diberikan lewat kacamata pribadi Anda, dan memprosesnya sesuai dengan realita pribadi yang Anda miliki. Jika ada pertanyaan, silahkan informasikan kepada saya lewat kolom komentar, atau langsung menanyakan kepada penulis.